PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 2015
TENTANG
RENCANA INDUK PEMBANGUNAN INDUSTRI NASIONAL
TAHUN 2015-2035
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional Tahun 2015-2035;
Mengingat:1.Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5492);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:PERATURAN PEMERINTAH TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN INDUSTRI NASIONAL TAHUN 2015-2035.
Pasal 1(1)Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional Tahun 2015-2035 yang selanjutnya disebut RIPIN 2015-2035 ditetapkan untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun.
(2)RIPIN 2015-2035 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a.visi, misi, dan strategi pembangunan industri;
b.sasaran dan tahapan capaian pembangunan industri;
c.bangun industri nasional;
d.pembangunan sumber daya industri;
e.pembangunan sarana dan prasarana industri;
f.pemberdayaan industri;
g.perwilayahan industri; dan
h.kebijakan afirmatif industri kecil dan industri menengah.
(3)RIPIN 2015-2035 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam lampiran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 2RIPIN 2015-2035 sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dan merupakan pedoman bagi Pemerintah dan pelaku industri dalam perencanaan dan pembangunan industri.
Pasal 3(1)RIPIN 2015-2035 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilaksanakan melalui Kebijakan Industri Nasional yang selanjutnya disebut KIN.
(2)KIN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang industri.
(3)Dalam penyusunan KIN sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang industri berkoordinasi dengan menteri dan kepala lembaga pemerintah nonkementerian terkait serta mempertimbangkan masukan dari pemangku kepentingan.
(4)KIN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Presiden.
(5)KIN sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
Pasal 4RIPIN 2015-2035 dan KIN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dijadikan acuan bagi:
a.menteri dan kepala lembaga pemerintah nonkementerian dalam menetapkan kebijakan sektoral yang terkait dengan bidang perindustrian yang dituangkan dalam dokumen rencana strategis di bidang tugas masing-masing sebagai bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional;
b.gubernur dalam penyusunan rencana pembangunan industri provinsi; dan
c.bupati/walikota dalam penyusunan rencana pembangunan industri kabupaten/kota.
Pasal 5Rencana pembangunan industri provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b sejalan dengan rencana pembangunan jangka menengah daerah provinsi.
Pasal 6Rencana pembangunan industri kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c sejalan dengan rencana pembangunan jangka menengah daerah kabupaten/kota.
Pasal 7Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang industri melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan RIPIN 2015-2035 dan KIN.
Pasal 8RIPIN 2015-2035 dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun.
Pasal 9Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 Maret 2015
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Maret 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA RI
No. 5671 | (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 2015 Nomor 46) |
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 2015
RENCANA INDUK PEMBANGUNAN INDUSTRI NASIONAL
TAHUN 2015-2035
I.UMUM
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian telah meletakkan industri sebagai salah satu pilar ekonomi dan memberikan peran yang cukup besar kepada pemerintah untuk mendorong kemajuan industri nasional secara terencana. Peran tersebut diperlukan dalam mengarahkan perekonomian nasional untuk tumbuh lebih cepat dan mengejar ketertinggalan dari negara lain yang lebih dahulu maju.
Untuk memperkuat dan memperjelas peran pemerintah dalam pembangunan industri nasional, perlu disusun perencanaan pembangunan industri nasional yang sistematis, komprehensif, dan futuristik dalam wujud Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 2015-2035 yang selanjutnya disebut RIPIN 2015-2035.
Penyusunan RIPIN 2015-2035 selain dimaksudkan untuk melaksanakan amanat ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian juga dimaksudkan untuk mempertegas keseriusan pemerintah dalam mewujudkan tujuan penyelenggaraan perindustrian, yaitu:
1.mewujudkan industri nasional sebagai pilar dan penggerak perekonomian nasional;
2.mewujudkan kedalaman dan kekuatan struktur industri;
3.mewujudkan industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju, serta Industri Hijau;
4.mewujudkan kepastian berusaha, persaingan yang sehat, serta mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perseorangan yang merugikan masyarakat;
5.membuka kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan kerja;
6.mewujudkan pemerataan pembangunan industri ke seluruh wilayah Indonesia guna memperkuat dan memperkukuh ketahanan nasional; dan
7.meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan.
RIPIN 2015-2035 disusun dengan memperhatikan beberapa aspek yang memiliki karakteristik dan relevansi yang cukup kuat dengan pembangunan industri nasional, di antaranya:
1.Dinamika Terkait Sektor lndustri
a.Peningkatan jumlah, perubahan komposisi, dan peningkatan kesejahteraan penduduk
Besarnya jumlah penduduk merupakan pasar potensial bagi industri barang konsumsi dan industri pendukungnya, termasuk industri komponen. Selain itu, komposisi struktur demografi penduduk berusia produktif yang lebih besar merupakan peluang bagi peningkatan produktivitas industri nasional. Peningkatan potensi pasar dan produktivitas ini akan berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan melalui peningkatan pendapatan per kapita.
b.Kearifan lokal yang tumbuh di masyarakat
Kearifan lokal merupakan kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, serta merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat atau budaya setempat, yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian menyebutkan bahwa, Industri yang memiliki keunikan dan merupakan warisan budaya adalah industri yang memiliki berbagai jenis motif, desain produk, teknik pembuatan, keterampilan, dan/atau bahan baku yang berbasis pada kearifan lokal, misalnya batik (pakaian tradisional), ukir-ukiran kayu dari Jepara dan Yogyakarta, kerajinan perak, dan patung Asmat.
Pemerintah bertanggungjawab mengembangkan, memanfaatkan, dan mempromosikan warisan budaya yang berbasis kearifan lokal serta memberikan perlindungan hak-hak masyarakat lokal mereka, baik dari kepunahan maupun dari pengambilan secara tanpa hak oleh pihak-pihak luar. Perlindungan warisan budaya yang berbasis kearifan lokal terkait erat dengan identitas sosial budaya dari pemangku kepentingan yang disusun berlandaskan semangat memberikan pelindungan, ketentraman, dan nilai-nilai penghormatan hak asasi manusia setiap warga negara secara proporsional, dengan tujuan memberikan kesempatan dalam berusaha dan bekerja berdasarkan prinsip persaingan usaha yang sehat dan mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh perseorangan atau kelompok yang merugikan masyarakat.
Perwujudan warisan budaya yang berbasis kearifan lokal diharapkan dapat memperkuat dan memperkukuh ketahanan nasional serta mewujudkan pemerataan pembangunan industri ke seluruh wilayah Indonesia dengan memperhatikan kenyataan keberagaman penyebaran dan pemerataan pembangunan industri ke seluruh wilayah Indonesia berdasarkan pendayagunaan potensi sumber daya wilayah serta memperhatikan nilai keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.
c.Perkembangan teknologi
Perkembangan teknologi di masa depan akan difokuskan pada nanotechnology, biotechnology, information technology dan cognitive science, dengan fokus aplikasi pada bidang energi, pangan, kesehatan, dan lingkungan. Perkembangan tersebut akan berpengaruh pada perkembangan sektor industri nasional sehingga perlu disiapkan sistem serta strategi alih teknologi dan inovasi teknologi yang sesuai, di antaranya peningkatan pembiayaan penelitian dan pengembangan (R&D), termasuk sinergi antara pemerintah, pengusaha dan akademisi.
d.Globalisasi proses produksi
Globalisasi berdampak pada pelibatan industri nasional dalam rantai pasok global di mana penciptaan nilai tambah melalui proses produksi tersebar di banyak negara. Perdagangan komponen diprediksi akan semakin mendominasi struktur perdagangan antar negara. Keterlibatan industri nasional dalam rantai pasok global juga berpotensi pada kerentanan terhadap gejolak perekonomian dunia. Oleh karena itu, kebijakan kemandirian dan ketahanan industri nasional menjadi sangat penting di masa depan.
e.Kelangkaan energi
Kelangkaan energi telah mulai dirasakan dan untuk menjamin keberlangsungan pembangunan industri diperlukan kebijakan penghematan dan diversifikasi energi serta perhatian yang lebih besar terhadap pengembangan sumber energi terbarukan dan energi nuklir yang murah dan aman.
f.Kelangkaan Bahan Baku Tidak Terbarukan
Kelangkaan minyak bumi sebagai bahan baku industri petrokimia telah mengakibatkan industri tersebut tidak dapat beroperasi lagi atau beroperasi dengan biaya yang tinggi sehingga tidak kompetitif.
Kondisi ini harus diantisipasi lebih jauh oleh industri hulu lainnya seperti industri berbasis mineral, dengan cara memperkuat R&D agar bisa menggunakan bahan baku yang lain, termasuk menggunakan proses recovery.
g.Peningkatan kepedulian terhadap lingkungan hidup
Untuk menjamin keberlanjutan sektor industri di masa depan, pembangunan industri hijau (green industry) perlu lebih diprioritaskan, antara lain melalui regulasi eco product, pemakaian energi terbarukan dan ramah lingkungan, serta bahan-bahan berbahaya.
h.Peningkatan kebutuhan pangan
Kebutuhan pangan akan meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, serta daya beli dan tingkat pendidikan konsumen. Kebutuhan ini tidak hanya dari sisi kuantitas, tetapi juga dari sisi kualitas, penyajian yang menarik, cepat dan praktis, serta standar higienisme yang lebih tinggi dan harga yang kompetitif dan terjangkau. Kebutuhan akan produk pangan yang sehat, aman, dan halal juga semakin tinggi.
i.Paradigma manufaktur
Perubahan paradigma manufaktur mengakibatkan perubahan sistem manufaktur dari mass production menjadi mass customization, di mana perhatian pertama diberikan pada perancangan untuk menghasilkan kualitas produk sesuai dengan kebutuhan pelanggan, dilanjutkan dengan pertimbangan pasar untuk menetapkan harga, dan aspek investasi untuk menetapkan biaya produksi. Dengan demikian, perhatian diberikan pada tahap perencanaan agar dapat memenuhi market acceptability.
j.Alih daya produksi dan kolaborasi
Proses alih daya (outsourcing) merupakan suatu alternatif yang berkembang, bahkan banyak industri di negara maju yang melaksanakan seluruh proses produksinya di negara berkembang, atau dikenal sebagai relokasi industri, artinya outsourcing tidak hanya pada seluruh proses tetapi juga termasuk penggunaan sumberdaya manusia (people outsourcing).
k.Ketersediaan tenaga kerja kompeten
Pasar bebas tenaga kerja akan diberlakukan di regional ASEAN pada akhir tahun 2015 dengan terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Untuk itu, pembangunan tenaga kerja industri kompeten menjadi kebutuhan mendesak yang dilakukan melalui pendidikan vokasi, pendidikan dan pelatihan, pemagangan, serta didukung dengan pemberlakukan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI).
2.Perjanjian Kerjasama Internasional
Beberapa perjanjian kerjasama internasional yang melibatkan Indonesia antara lain:
a.Perjanjian Multilateral
1)Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang telah disahkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994.
2)
Preferential Trade Agreement Among D-8 Member States (Persetujuan Preferensi Perdagangan antara Negara-Negara Anggota D-8) yang telah disahkan dengan
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2011.
b.Perjanjian Regional
1)Charter of the Association of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara) yang telah disahkan dengan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008.
2)Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Between the Association of Southeast Asian Nations and the People's Republic of China(Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antara Negara-negara Anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara dan Republik Rakyat China) yang telah disahkan dengan Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004.
3)Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Between the Association of Southeast Asian Nations and the Republic of India (Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antara Negara-negara Anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara dan Republik India) yang telah disahkan dengan Keputusan Presiden Nomor 69 Tahun 2004.
4)Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation among the Government of the Member Countries of the Association of Southeast Asian Nation and the Republic of Korea (Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antara Pemerintah Negara-negara Anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara dan Republik Korea) yang telah disahkan dengan Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2007.
5)Agreement of Comprehensive Economic Partnership among Member States of the Association of Southeast Asian Nations and Japan (Persetujuan Kemitraan Ekonomi Menyeluruh antara Negara-negara Anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara dan Jepang) yang telah disahkan dengan Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2007.
6)Agreement Establishing the ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area(Persetujuan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN- Australia-Selandia Baru) yang telah disahkan dengan Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2011.
c.Perjanjian Bilateral
1)Agreement Between the Republic of Indonesia and Japan for an Economic Partnership (Persetujuan Antara Republik Indonesia dan Jepang Mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi) yang telah disahkan dengan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2008.
2)Persetujuan Kerangka Kerja Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Islam Pakistan tentang Kemitraan Ekonomi Komprehensif (Framework Agreement Between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Islamic Republic of Pakistan on Comprehensive Economic Partnership) yang telah disahkan dengan Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2008.
3)Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kemitraan dan Kerjasama Menyeluruh antara Republik Indonesia di Satu Pihak, dan Komunitas Eropa Peserta Negara-negara Anggotanya di Pihak Lainnya (Framework Agreement on Comprehensive Partnership and Cooperation Between the Republic of Indonesia of the One Part, and the European Community and the Member States of the Other Part) yang telah disahkan dengan Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2012.
4)Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kemitraan bidang Ekonomi dan Perdagangan secara Komprehensif antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Islam Iran (Framework Agreement on Comprehensive Trade and Economic Partnership between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Islamic Republic of Iran) yang telah disahkan dengan Peraturan Presiden Nomor 102 Tahun 2006.
Adanya perjanjian kerjasama internasional tersebut berdampak pada beberapa hal berikut:
a.semakin meningkatnya Foreign Direct Investment (FDI) karena daya tarik potensi pasar Indonesia atau karena daya tarik potensi sumber daya alam atau bahan baku yang dimiliki Indonesia;
b.semakin meningkatnya transaksi perdagangan global oleh Trans National Corporation(TNC) yang menjadikan industri di Indonesia sebagai bagian dari Rantai Nilai Global (Global Value Chains - GVCs).
c.semakin berkurangnya instrumen perlindungan, baik yang bersifat tarif maupun non-tarif, bagi pengembangan, ketahanan maupun daya saing industri di dalam negeri;
d.semakin derasnya arus impor produk barang dan jasa yang berpotensi mengancam kondisi neraca perdagangan dan neraca pembayaran; dan
e.semakin ketatnya persaingan antara pekerja asing dan pekerja domestik sebagai akibat pergerakan pekerja terampil secara lebih bebas.
3.Kebijakan Otonomi Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah atau desentralisasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah. Dalam kaitannya dengan sektor industri, adanya pembagian urusan pemerintahan memberi banyak peluang yang dapat dimanfaatkan oleh daerah provinsi, kabupaten dan kota untuk mempercepat pertumbuhan dan pengembangan industri di daerah serta meminimalkan ketidakmerataan penyebaran industri di wilayah Indonesia.
Dalam upaya mengejawantahkan RIPIN 2015-2035, disusun Kebijakan Industri Nasional (KIN) untuk masa berlaku selama 5 (lima) tahun dan operasionalisasinya dilaksanakan melalui Rencana Kerja Pembangunan Industri yang disusun untuk masa berlaku selama 1 (satu) tahun.
RIPIN 2015-2035 dan KIN dijadikan acuan oleh menteri dan kepala lembaga pemerintah nonkementerian dalam menetapkan kebijakan sektoral yang terkait dengan bidang perindustrian yang dituangkan dalam dokumen rencana strategis di bidang tugas masing-masing sebagai bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Di samping itu RIPIN 2015-2035 dan KIN juga dijadikan acuan bagi gubernur dan bupati/walikota dalam penyusunan rencana pembangunan industri daerah baik dalam skala provinsi maupun dalam skala kabupaten/kota.
II.PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas